[Call for Commentary] Era Kepemimpinan Strongman: Bagaimana Media Sosial Menjadi Alat Propaganda Mereka

Penulis: Saqib Fardan Ahmada[i]
Editor: M Perdana Karim

Kontestasi Pilpres 2024 telah berakhir dan berdasarkan penghitungan quick count Prabowo Subianto memimpin dengan suara lebih dari 50%. Terlepas dari peran Jokowi sebagai incumbent yang dilihat turut berkontribusi dalam ”memenangkan” Prabowo, perlu dilihat juga bagaimana model kampanye dari sosok dengan background militer yang kuat beralih menjadi the cuddly grandpa. Namun demikian, di balik persona baru tersebut Prabowo in a way juga menunjukan sisi sebagai pemimpin strongman -untuk tidak menyebutnya sebagai otoriter.

Hal yang menarik atas naiknya Prabowo dalam kursi kekuasaan di Indonesia ialah bahwa perubahan politik ini mengikuti tren politik global yang Tengah terjadi. Prabowo yang akan masuk dalam kursi kepresidenan, selaras dengan zamannya, sejak tahun 2000, munculnya pemimpin strongman telah menjadi ciri sentral dari politik global.

Bagaimana situasi politik di Indonesia saat ini masuk dalam tren kepemimpinan strongman seiring dengan tren politik global? Terlebih, bagaimana pemimpin strongman di dunia menggunakan media sosial sebagai alat propaganda dan kontrol sosial mereka?

Strongman style politics: Kontrol masyarakat atau masyarakat terkontrol?

Perlu diperjelas bahwa gaya kepemimpinan strongman tidak sama dengan pemimpin otoriter pada masa lampau. Strongman style, menurut Rachman (2022) justru, saat ini umum muncul di antara politisi terpilih melalui sistem demokratis. Pemimpin strongman beroperasi dalam sistem demokrasi, seperti Donald Trump yang muncul di salah satu negara demokratis terbesar.

Dalam tren demikian, proses erosi demokrasi telah dimulai. Resesi demokrasi yang panjang semakin dalam, dan kenaikan pemimpin strongman telah menjadi pusat dari proses ini. Hal ini karena gaya politik pemimpin strongman menempatkan insting pemimpin di atas hukum dan institusi. Dalam proses demikian, paling tidak beberapa negara yang masuk dalam tren ini di antaranya ialah Turki (Erdogan), Brazil (Jair Bolsonaro), hingga India (Narendra Modi)[ii].

Hal menarik dalam diskurus ini ialah bukan hanya pemimpin strongman yang bergerak dalam ruang demokrasi, melainkan pula bagaimana ia memanfatkan media social untuk mendapat kekuasaan melalui proses demokratis. Dengan sedikit pengecualian, para pemimpin ini sangat terampil dalam menggunakan media sosial. Munculnya bentuk-bentuk baru komunikasi politik membantu mendorong ke arah politik strongman.

Donald Trump menjadikan Twitter sebagai bentuk komunikasi utamanya. Dengan begitu, dia membangun bentuk komunikasi langsung dengan pemilih yang memungkinkannya untuk menghindari “media berita palsu.” Hubungan personal antara seorang pemimpin strongman dan para pengikutnya sangat penting untuk pembentukan kultus kepribadian dan Twitter adalah media yang ideal untuk menciptakan hal ini.

Sementara media tradisional dimaksudkan untuk bertanya apakah suatu cerita benar atau salah, Media sosial menanyakan kepada penggunanya apakah mereka “suka” atau “tidak suka” pada sebuah postingan: daya tariknya adalah pada emosi dan loyalitas, bukan pada akal sehat.

Pada era awal internet, banyak orang percaya bahwa aliran informasi bebas akan secara tidak terelakkan mendukung demokrasi karena akan membuat sulit bagi politisi otoriter untuk menyensor berita dan mendorong kontrol publik. Hal ini ada benarnya. Tapi optimisme ini perlu diperhatikan. Media sosial di sisi lain juga sangat cocok untuk jenis komunikasi politik yang disukai oleh strongman – slogan atau klaim yang tidak dapat diandalkan, yang menarik emosi dan kemungkinan besar akan segera dibagikan oleh pengikut.

Dengan internet saat ini menjadi bagian penting dari kehidupan di masyarakat modern, otoritas China justru menggunakannya untuk memantau aktivitas warganya. Setiap perjalanan, transaksi online, atau posting di media sosial dapat dimonitor. Warga yang dicurigai melakukan aktivitas subversif kemudian dapat dihukum melalui sistem “kredit sosial,” di mana segala hal mulai dari promosi di tempat kerja hingga kemampuan untuk mengambil pinjaman dapat berisiko bagi para pengkritik.

Dengan demikian, fungsi kontrol tidak dipegang oleh masyarakat umum. Perkembangan teknologi sosial media justru dijadikan alat oleh para strongman untuk melakukan komunikasi langsung dengan massa, serta alat kontrol sosial yang berbahaya. Tren ini bukan tanpa bukti, V-Dem Institute memberi judul laporan demokrasi 2023 dengan “Defiance in the Face of Autocratization”. Laporan tersebut menunjukan beberapa tren merosotnya demokrasi di dunia, salah satunya ialah bahwa kebebasan berekspresi memburuk di 35 negara pada tahun 2022, di mana sepuluh tahun yang lalu hanya ada 7 negara.

Kemenangan Prabowo: Indonesia’s Strongman Leadership Era?

Kembali pada kemenangan Prabowo pada Pilpres 2024. Apakah ia akan menandai era kepeimpinan strongman di Indonesia? Pada kontestasinya sepanjang Pilpres, branding Prabowo mengalami perubahan, seperti di tahun 2014 dengan persona militer-nasionalis dan 2019 sebagai Islamis. Pada 2024 branding gemoy menjadi identitas baru Prabowo guna menyeimbangkan citra tradisional Prabowo di kalangan pemilih muda Indonesia sebagai sosok “tegas”. Sikap “tegas” tetap menjadi inti otoritas karismatik Prabowo di kalangan generasi tua. Tetapi citra gemoy membantu untuk meredakan citra Prabowo seiring dengan narasi kampanye bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dalam memilih mantan tokoh militer yang keras, yang secara jelas sekarang telah berubah.

Padahal, di balik kampanye gemoy Prabowo, dalam dirinya begitu banyak perangai strongman dari berbagai sejarah kelamnya. Kurlantzick (2024) menilai Prabowo telah secara terang-terangan mengekspresikan sikap meremehkan sistem demokrasi Indonesia yang sudah rapuh. Ia telah menjalankan kampanye sebelumnya dengan janji untuk menjadi pemimpin tipe strongman sebagaimana mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte atau pemimpin Turki Erdogan. Dia bahkan pernah memasuki salah satu rapat umum, terkenal, di atas kuda putih, semacam simbol strongman tertinggi, dan berjanji untuk menyelesaikan masalah sendiri, bukan melalui demokrasi yang berantakan (Kurlantzick, 2024).

Lebih lanjut, dan mungkin yang paling mengkhawatirkan, sejumlah besar tuduhan yang kredibel mengungkapkan bahwa selama tahun 1990-an, era otoriter rezim Suharto dan era pasca-Suharto, Jenderal Prabowo (yang pada suatu waktu menikahi putri Suharto) melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang luas. Ini termasuk, secara dugaan, penculikan, penyiksaan, dan kemungkinan penghilangan paksa terhadap para pendissiden politik – suatu tindakan yang membuatnya dikeluarkan dari militer, seperti yang dicatat oleh New York Times, setelah ditemukan bersalah melakukan kejahatan tersebut.

Dia juga dituduh memainkan peran yang signifikan dalam memicu kekerasan brutal di Timor Timur saat provinsi tersebut mengadakan referendum untuk meninggalkan Indonesia, dan kemudian menghadapi gelombang pembantaian dari pasukan khusus Indonesia, yang dipimpin dan dilatih dalam kekejaman oleh Prabowo, dan para preman yang bersama dengannya. Timor Timur hancur secara fisik, dan ratusan bahkan ribuan warga sipil tewas dalam pembantaian tersebut. Selama bertahun-tahun Prabowo ditolak visa ke Amerika Serikat karena tuduhan kejahatan tersebut.

Segala sejarahnya jelas menunjukan ia adalah sosok strongman. Namun demikian, bagaimana pun segala sejarah gelap yang menempel pada sosok Prabowo tergantikan dengan branding gemoy-nya. Ia kini digambarkan sebagai sosok kakek yang gemas dengan jogetannya yang canggung. Para pemilih telah bersuara, pasangan Prabowo-Gibran tampaknya memenangi kontestasi ini bahkan cukup dengan satu putaran. The ex-military general, accused of rights abuses and war crimes during the dark days of the Suharto regime, has triumphed in a modern-day democratic vote. His rebranding for the 2024 vote was one part of the winning strategy (Mao, 2024).

Hal terpenting saat ini ialah mendiskusikan bagaimana ia akan menjelankan kursi kepresidenannya ke depan. Gimmick gemoy nampaknya akan segera ditanggalkan dan ia akan kembali pada sosok dirinya sebagai pemimpin strongman. Nasib demokrasi Indonesia ibarat dihadapkan pada sebuah persimpangan. Kekhawatiran para aktivis demokrasi bukan tanpa sebab, dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan pembatasan ruang gerak masyarakat ataupun kritik pada pemerintah. Kita melihat adanya perubahan pada UU ITE, yang pasal karetnya bisa digunakan untuk menangkap siapa saja yang tidak disukai oleh berkuasa (Hadiz, 2024). Terlebih, tiga negara demokrasi terbesar – Amerika Serikat, Indonesia, dan Brasil – semuanya mengalami otoritarianisasi dalam sepuluh tahun terakhir. (V-Dem Institute, 2023). Mandat dan kuasa publik dalam pertaruhan.


Karenanya, di era kepemimpinan strongman, media sosial digunakan untuk branding cult personality mereka serta dijadikan alat untuk mengontrol masyarakat, bukan sebaliknya. Situasi politik Indonesia, yang diwakili oleh kemenangan Prabowo pada pemilihan tahun 2024, tampak mengikuti gagasan ini. Perangai serta masa lalu Prabowo tak bisa dipungkiri memperkuat statemen tersebut. Oleh karena itu, media sosial harus dimanfaatkan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat dan sebagai alat untuk memperkuat proses demokratisasi. Demokrasi yang sehat bukan demokrasi yang digantungkan nasibnya kepada elite, melainkan demokrasi yang terus diupayakan (Wadipalapa, 2024). Jika tidak, media sosial akan jatuh sebagai paradoks yang justru mengontrol dan mempolarisasi masyarakat yang terhubung.

Referensi

Hadiz, Vedi R. “Demokrasi Bisa Bunuh Diri: Pelajaran Dari Pemilu Dunia.” kompas.id, January 24, 2024. https://www.kompas.id/baca/opini/2024/01/24/demokrasi-bisa-bunuh-diri-pelajaran-dari-pemilu-dunia.

Kurlantzick, Joshua. “Prabowo Wins. Does Indonesian Democracy Lose?” Council on Foreign Relations, February 14, 2024. https://www.cfr.org/blog/prabowo-wins-does-indonesian-democracy-lose.

Rachman, Gideon. The age of The strongman: How the cult of the leader threatens democracy around the world. Random House, 2022.

Temby, Quinton. “The Prabowo Campaign’s ‘Cute Aggression.’” Indopacifica (blog), February 20, 2024. https://www.indopacifica.com/p/the-prabowo-campaigns-cute-aggression.

V-Dem Institute, Democracy Report 2023: Defiance in the Face of Autocratization (Gothenburg Sweden: University of Gothenburg, 2023)

Wadipalapa, Rendy Pahrun. “Sesat Pikir Tentang Demokrasi Indonesia.” kompas.id, February 22, 2024. https://www.kompas.id/baca/opini/2024/02/20/sesat-pikir-tentang-demokrasi-indonesia?open_from=Opini_Page.


[i] Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM

[ii] Selengkapnya dijelaskan dalam Rachman (2022). Tiap pemimpin tentunya memiliki karakter strongman masing-masing.